TREAT – Suasana Lebaran Idul adha masih terasa di tengah masyarakat. Walaupun sehari telah berlalu, lantunan Takbir dan makan daging qurban sedang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan dunia.
Idul Adha merupakan hari raya umat muslim yang sering juga disebut dengan hari raya kurban karena di hari itu, umat muslim yang mampu secara finansial dianjurkan untuk melaksanakan kurban. Biasanya, seseorang yang akan melaksanakan kurban membeli hewan ternak berupa sapi atau kambing untuk kemudian diserahkan ke masjid. Lalu saat hari raya tiba, hewan tersebut akan disembelih di mesjid yang bersangkutan.
Namun, ternyata beberapa daerah di Indonesia memiliki tradisi khusus yang cukup unik saat Idul Adha, lho. Beberapa dari tradisi itu dilaksanakan sebelum Idul Adha dan sebagian lagi dilaksanakan pasca Idul Adha. Yuk simak, berikut adalah beberapa daerah dengan tradisi menyambut Idul Adha terunik.
Tradisi ini biasa dilakukan H-1 sebelum Idul Adha. Seperti namanya, masyarakat akan mendandani sapi seperti layaknya pengantin, dimana sapi yang akan dikurbankan akan diberi kalung berupa bunga tujuh rupa, lalu dibalut dengan kain kafan, sorban, dan sajadah. Setelahnya, semua sapi akan diarak menuju masjid untuk diserahkan kepada panitia kurban.
Tradisi ini merupakan salah satu bagian dari syiar agama guna mengingatkan pentingnya berkurban dan sebagai bentuk rasa syukur karena sebagian besar masyarakat Pasuruan adalah para peternak sapi. Setiap tahunnya, pasti ada salah satu diantara mereka yang menyembelih sapi dan dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkan.
Selain itu, warga desa khususnya para perempuan juga akan memeriahkan acara dengan membawa berbagai peralatan masak serta bumbu dapur untuk acara memasak bersama.
Dilakukan oleh suku asli Banyuwangi yaitu Suku Osing yang digelar setiap tanggal 1 Dzulhijjah atau menjelang hari raya Idul Adha dan bagian dari rutual bersih desa. Mepe kasur merupakan tradisi menjemur kasur yang dipercaya bisa mengusir berbagai hal buruk. Tradisi ini sebenarnya tidak hanya dilakukan setahun sekali, tetapi memang dilakukan masyarakat sehari-hari. Hanya saja momennya menjadi berbeda ketika dilakukan mendekati hari raya besar seperti Idul Adha.
Masyarakat Kemiren percaya bahwa barangkali di kasur itu ada hal-hal mistis negatif yang harus dikeluarkan dengan cara dipukuli pakai sapu lidi lalud dijemur supaya hal negatif itu bisa hilang. Dari segi kesehatan pun menjemur kasur baik dilakukan untuk menghindari berbagai macam penyakit karena Suku Osing pun percaya bahwa kasur merupakan benda yang sangat dekat dengan manusia sehingga wajib dibersihkan agar kotoran di kasur itu hilang.
Uniknya, kegiatan Mepe Kasur biasanya dilakukan pada pagi hari dan setelah matahari melewati kepala alias tengah hari, semua kasur harus dimasukkan karena konon jika tidak, kebersihan kasur itu akan hilang. Hal unik lainnya terletak pada warna kasur yang didominasi dengan warna merah dan hitam. Filosofinya merah diartikan sebagai ibu dan hitam diartikan abadi, maknanya kasih sayang ibu yang tidak ada batasan terhadap anaknya. Makna lainnya adalah merah diartikan sebagai berani dan hitam abadi, jadi diharapkan sebuah rumah tangga itu bisa terus langgeng dan dapat menghadapi tantangan dalam sebuah rumah tangga.
Selanjutnya, setelah kasur dimasukkan ke dalam rumah, warga Osing melanjutkan tradisi bersih desa mereka dengan arak-arakan barong yang diarak dari ujung desa menuju batas akhir desa. Barong tersebut dipercaya sebagai penjaga desa. Mereka juga membakar daun kelapa kering sepanjang jalan arak-arakan yang dipercaya dapat menghilangkan marabahaya atau menolak bala.
Dan baru pada malam harinya, sebagai acara puncak, warga bersama-sama menggelar selametan tumpeng sewu yang artinya seribu tumpeng untuk dimakan bersama sebagai bentuk rasa syukur yang isinya berbagai macam hasil bumi desa mulai dari beras (nasi), sayur-sayuran, dan hasil ternak seperti ayam, dll. Setelah selesai makan bersama, warga akan membacakan Lontar Yusuf (Surat Yusuf) hinggatengah malam di salah satu rumah tokoh warga setempat.
Tradisi ini merupakan tradisi Keraton Kasepuhan Cirebon saat hari besar Islam. Keberadaan Gamelan Sekaten ini tidak terlepas dari peran Wali Songo, khususnya Sunan Gunung Jati yang dahulu menyebarkan ajaran Islam di tanah Cirebon.
Dahulu, Gamelan Sekaten ini digunakan oleh Sunan Gunung Jati untuk menyiarkan Islam. Kala itu, masyarakat yang menonton gamelan ini harus membayar, tetapi tidak dengan uang, melainkan dengan dua kalimat syahadat atau syahadatain.
Saat ini, tradisi ini dilaksanakan selepas Sultan Keraton Kasepuhan turun dari Masjid Agung Sang Cipta Rasa usai melaksanakan sholat ied. Gamelan akan dibunyikan dan dialunkan dari pagi hingga siang hari di Komplek Keraton Kasepuhan. Dan saat ini Gamelan Sekaten yang pernah digunakan oleh Sunan Gunung Jati itu telah berusia sekitar 600 tahun.
Pada intinya, kedua tradisi ini memiliki tujuan dan inti yang sama, yaitu mengarak hasil bumi daerah setempat yang dijadikan dan dibentuk seperti gunungan sebagai bentuk rasa syukur atas hasil bumi (panen) yang telah didapat. Dan di akhir acara, masyarakat akan berlomba-lomba mengambil hasil bumi yang sudah diarak tersebut dan dipercaya dapat membawa berkah.
Perbedaannya, dalam tradisi Apitan, masyarakat terlebih dahulu melaksanakan pembacaan doa secara bersama-sama untuk keselamatan warga, baru dilanjutkan dengan arak-arakan keliling desa. Di Yogyakarta, Grebeg Gunungan dilakukan dengan membawa tiga buah gunungan hasil bumi yang akan diarak dari keraton menuju masjid untuk upacara pembacaan doa.
Tradisi Kaul dan Abdau dilaksanakan setelah pelaksanaan Salat Idul Adha khususnya di Negeri Tulehu, Maluku Tengah. Kaul merupakan sebutan untuk acara ritual penyembelihan hewan kurban. Ada dua sesi penyembelihan hewan kurban, ada sesi umum dan sesi secara khusus.
Sesi umum dilakukan sebagaimana mestinya prosesi penyembelihan hewan kurban yang dilakukan setelah melaksanakan sholat ied, sedangkan secara khusus, penyembelihan hewan terdiri dari seekor kambing inti dan dua kambing pendamping.
Sebelum kambing disembelih, tiga kambing tersebut akan digendong dengan kain oleh pemuka adat dan pemuka agama untuk diarakan keliling negeri dan diiringi oleh alunan dzikir dan salawat ke Nabi Muhammad SAW untuk menuju ke Pelataran Masjid Negeri Tulehu dan dilakukanlah penyembelihan selepas Ashar dan merupakan Kaul Negeri untuk menolak bala dan permohonan perlindungan kepada Allah bagi Negeri Tulehu dan masyarakat setempat.
Penyembelihan langsung dilakukan oleh imam besar Masjid Negeri Tulehu. Dari atas masjid, kelompok ibu-ibu menabur bunga yang harum baunya. Sementara darah cipratan kambing yang disembelih diperebutkan oleh pemuda anggota adat abda’u, simbol bahwa pemuda Tulehu rela berkorban untuk kebenaran. Abda’u merupakan simbol kemakmuran.
Pasca-penyembilan, proses abda’u (ibadah) dilangsungkan. Pesertanya sebagian besar adalah para pemuda. Mereka hanya berkaus singlet, berikat kepala warna putih, dan berjalan beramai-ramai menuju rumah imam Negeri Tulehu.
Setelah para pemuda abda’u sampai, imam besar menyerahkan bendera hijau berenda benang bewarna kuning emas. Hijau melambangkan subur, dan kuning adalah kemakmuran. Bendera inilah yang nantinya bakal diperebutkan oleh ratusan pemuda yang mengikuti upacara ini.
Sekilas terkesan ada kekacauan, karena mereka akan saling pukul, saling injak, dan saling dorong untuk memperebutan panji. Tapi tak perlu khawatir, sebelum prosesi rebutan bendera dilakukan, para pemuda ini terlebih dahulu disiram air khasiat oleh Imam Besar yang konon membuat tubuh mereka kuat dan terbebas dari rasa sakit. Dan justru inilah yang mencuri perhatian khalayak. Orang-orang di sekeliling berteriak, menyoraki, sembari tetap memberi dukungan kepada para pemuda agar berhasil mendapatkan bendera lambang kesuburan dan ketentraman.
So Treatpeople itu tadi 5 tradisi unik masyarakat Indonesia saat menyambut Idul Adha. Kalau Treatpeople pernah lakuin tradisi apa nih untuk menyambut Idul Adha?