TREAT – Yogyakarta adalah salah satu contoh kota diindonesia yang mendapat gelar Istimewa. Kota ini memiliki sebuahkesultanan yang diberi nama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat artinya yaitu Negara indepenen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan pemerintahan negara diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian/kontrak politik yang dibuat oleh Negara induk yaitu belanda bersama-sama negara idependen Kesultanan Ngayogyakarta.
Salah satu pemimpin kesultanan Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengkubuwana II, ia memimpin kesultanan Yogyakarta selama 3 periode dari tahun 1792 – 1828. Memiliki nama asli Gusti Raden Mas Sundara ia dilahirkan pada tanggal 7 Maret 1750, ia merupakan putra kelima Sultan Hamengkubuwana I dan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu Hageng/GKR Kadipaten.
Masa pemerintahan periode pertama Mas Sundara dimulai pada bulan Maret 1792. Mas Sundara merupakan raja yang penuh dengan cita-cita dan anti terhadap belanda. Pada 19 Agustus 1799, Patih Danureja I meninggal, digantikan cucunya yaitu Raden Tumenggung Mertanegara, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini nantinya akan merugikan Sultan sendiri, karena Danureja II lebih banyak membela Belanda daripada rajanya, sehingga sempat membuat Sultan marah dan memecatnya.
Herman Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang antifeodalisme. Ia menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnya dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen ciptaan Daendels) salah satunya adalah agar mengganti peraturan tata upacara lama dengan yang baru di kraton Jawa. Tentu saja Sultan menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya. Akibat dekat dengan belanda Sultan memecat Danureja II dan menggantinya dengan Pangeran Natadiningrat, putra Pangeran Natakusuma (adik Hamengkubuwana II). Pada bulan Desember 1810, Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II lalu menggantikannya dengan putranya GRM Suraja sebagai Sultan Hamengkubuwana III. Deandels juga menangkap Pangeran Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih Danureja II.
Masa pemerintahan periode kedua pemerintahan belanda direbut oleh inggris. Hal ini dimanfaatkan oleh sultan untuk merebut kembali gelar rajanya dan menurunkan Hamengkubuwana III. September 1811 Danureja II dibunuh di depan Sitihinggil atas perintah Sultan ketika hendak menghadiri rapat di keraton. pada tanggal 19 Juni 1812, pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Perang besarpun tak dapat diilakkan dan berakhir dengan kalahnya kesultanan. Hamengkubuwana II ditangkap dan dibuang ke pulau Penang.
Masa pemerintahan periode ketiga terjadi pada tahun 1826, kedatangan Sultan sebagai penguasa Yogyakarta banyak melemahkan kekuatan Diponegoro, karena kepopulerannya semasa masih menjabat sebelum dibuang ke Penang tahun 1812. Sultan berusaha keras guna menertibkan keadaan dan mengembalikan keamanan di wilayahnya, meskipun dihimpit dengan tuntutan-tuntutan Belanda dalam rangka memadamkan Perang Diponegoro. Beberapa tokoh penting keraton berhasil dibujuk pulang ke Yogyakarta, namun demikian Sultan sendiri tidak pernah berniat serius untuk membujuk Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi putranya untuk menghentikan perlawanan. Belanda mencurigai tindakan Sultan ini sebagai dukungan terselubung terhadap perlawanan Diponegoro.
Pada akhir hidupnya Sultan Hamengkubuwana II yang sudah tua (dan dipanggil sebagai Sinuhun Sepuh), akhirnya turun pada tanggal 3 Januari 1828 setelah menderita sakit radang tenggorokan dan akibat usia tua. Pemerintahan kembali dipegang oleh cicitnya, yaitu Hamengkubuwana V. Berbeda dari penguasa Kesultanan Yogyakarta lainnya, jenazah Hamengkubuwana II tidak dimakamkan di Imogiri, melainkan di kompleks pemakaman Kotagede. Hal ini terjadi karena pertimbangan keamanan. Jalur perjalanan ke Imogiri yang saat itu dikuasai oleh Pangeran Diponegoro.