

Jayapura – Seorang ibu hamil bernama Irene Sokoy dan bayi dalam kandungannya meninggal dunia setelah diduga ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura, Papua, pada Minggu (16/11). Peristiwa tragis ini memicu kemarahan Gubernur Papua Mathius Derek Fakhiri. Ia mengultimatum seluruh fasilitas kesehatan di provinsi tersebut untuk tidak menolak pasien dalam kondisi apapun, termasuk mereka yang tidak mampu secara finansial. Sanksi tegas menanti fasilitas kesehatan yang melanggar ketentuan ini.
Mathius Derek Fakhiri menegaskan bahwa layanan kesehatan, khususnya bagi ibu dan anak, adalah prioritas utama. “Jangan lihat dia datang punya uang atau tidak, layani dulu. Urusan itu urusan saya sebagai gubernur dan nanti para Bupati,” kata Mathius.
Gubernur mengakui kasus kematian Irene Sokoy adalah cerminan dari bobroknya pelayanan kesehatan di Papua. “Tuhan punya cara untuk membukakan mata kami pemerintah bahwa inilah bobrok pelayanan kesehatan di Provinsi Papua,” ujarnya saat mendatangi rumah keluarga Irene.
Gubernur Papua, didampingi sejumlah pejabat Pemprov Papua, mengunjungi keluarga mendiang Irene Sokoy di dermaga Kampung Ifar Besar, Kabupaten Jayapura, pada Jumat (21/11) malam. Keluarga memaparkan kronologi lengkap kejadian tragis tersebut kepada gubernur.
Peristiwa bermula pada Minggu (16/11) ketika Irene mengalami kontraksi di Kampung Kensio, Danau Sentani. Karena tidak ada fasilitas kesehatan di kampung tersebut, keluarga membawa Irene menggunakan speedboat menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari, menempuh jarak sekitar 30 kilometer.
Ivan Ibo, adik Irene Sokoy, menuturkan bahwa mereka tiba di RSUD Yowari sekitar pukul 15.00 WIT. Perawat melakukan pemeriksaan awal dan menyatakan kondisi Irene serta bayinya normal, dengan pembukaan lima sentimeter.
Namun, setelah pembukaan tidak berubah, Irene dipindahkan ke ruang bersalin. Dokter jaga menyarankan pemberian obat perangsang, dan keluarga menebus empat jenis obat di apotek rumah sakit. Pukul 20.00 WIT, air ketuban Irene pecah, dan kondisi jantung janin menurun.
Karena dokter kandungan tidak berada di tempat, RSUD Yowari merujuk Irene ke RS Dian Harapan. Alfonsina Kabey, ipar Irene yang mendampingi, mengaku panik karena kondisi Irene melemah tanpa penanganan dokter. Keluarga harus menunggu ambulans dari pukul 23.00 WIT hingga pukul 01.22 WIT.
Setibanya di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, Irene tidak dapat dirawat karena alasan ruangan penuh. Staf rumah sakit memeriksa status BPJS kelas 3 Irene yang ditanggung pemerintah, namun tetap menyatakan tidak ada kamar.
Keluarga kemudian melanjutkan perjalanan ke RSUD Abepura. Di sana, mereka hanya mendapat penjelasan singkat bahwa ruang operasi sedang direnovasi, sehingga pasien tidak bisa ditangani.
Atas arahan RSUD Abepura, keluarga merujuk Irene ke RS Bhayangkara Jayapura, rumah sakit keempat yang mereka datangi. Namun, kembali tidak mendapatkan perawatan. Pihak rumah sakit ini disebut meminta uang muka sebesar Rp4 juta sebelum memberikan tindakan medis, meskipun Irene peserta BPJS Kesehatan kelas 3.
“Ada ruang VIP, tapi kita harus bayar 4 juta, uang muka 4 juta bisa ditangani,” kata Ivan Ibo. Karena keluarga tidak memiliki uang sebanyak itu, tindakan medis tidak dilakukan di IGD. Ivan menyebutkan, “Jadi tindakan medis itu hanya di dalam mobil.”
Setelah pemeriksaan awal di area luar IGD, keluarga diarahkan ke RS Dok II Jayapura. Namun, kondisi Irene kian memburuk di perjalanan. “Kakak jatuh di dada saya. Kakak bilang, ‘kalau ada saudara laki-laki, saya sudah tidak bisa.’ Itu saja, langsung kakak tutup mata,” cerita Ivan.
Ivan berteriak meminta sopir putar balik ke RS Bhayangkara. Namun, Ivan meyakini kakaknya sudah meninggal di dalam mobil, sebelum tiba kembali di rumah sakit tersebut.
Direktur RSUD Yowari, drg Maryen Braweri, menyatakan Dinas Kesehatan Papua akan segera melakukan audit maternal. Audit ini untuk menelusuri penyebab kematian Irene Sokoy dan bayinya serta memastikan prosedur pelayanan sesuai standar. Pihaknya menunggu hasil audit dari Dinas Kesehatan Provinsi.
Pihak Rumah Sakit Dian Harapan membantah menolak pasien rujukan. Mereka mengaku telah menyampaikan kondisi layanan, ketersediaan dokter, dan ruang perawatan kepada petugas RSUD Yowari sebelum pasien dibawa. Ruang NICU dan kebidanan saat itu penuh, dan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi sedang cuti.
Direktur RS Bhayangkara, Rommy Sebastian, juga membantah menolak pasien rujukan. Ia menjelaskan bahwa RSUD Yowari tidak melalui prosedur rujukan Sistem Rujukan Terintegrasi (SISRUTE), yang memungkinkan fasilitas kesehatan mengetahui ketersediaan. “Ini tidak dilakukan, jadi jangan salahkan kami,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Arry Pongtiku, menyatakan kasus kematian Irene Sokoy menunjukkan kegagalan sistem rujukan dan penanganan kegawatdaruratan di wilayah tersebut. Pasien seharusnya ditangani sebagai kasus emergensi dan tidak boleh dipindahkan berulang kali.
“Kalau namanya emergensi, tidak boleh ada penolakan pasien. Harus bisa dilayani dulu. Administrasi bisa menyusul,” tegas Arry. Ia mengakui lemahnya koordinasi antarrumah sakit menjadi salah satu masalah utama.
Dinas Kesehatan Papua telah mengumpulkan 43 perwakilan dari berbagai pihak terkait untuk membentuk tim kecil audit bersama UNICEF. Tim ini akan menelusuri seluruh proses pelayanan dan rujukan untuk melihat kesalahan dan cara memperbaikinya.
Menanggapi klaim permintaan uang muka, Arry menegaskan pasien gawat darurat tidak boleh dimintai biaya di muka. Jika ada biaya yang tidak bisa diklaim BPJS, Dinas Kesehatan bisa membantu membayarkan untuk pasien Orang Asli Papua.
Arry Pongtiku kembali menegaskan bahwa keselamatan ibu dan bayi harus menjadi prioritas utama semua fasilitas kesehatan di Papua.
Pengamat kebijakan publik Papua, Methodius Kossay, menyebut kasus ini menyentuh isu tata kelola kebijakan publik, implementasi regulasi, dan akuntabilitas layanan publik. Ia mengidentifikasi tiga persoalan fundamental: kegagalan sistem rujukan, dugaan pelanggaran kewajiban rumah sakit dalam penanganan gawat darurat, serta lemahnya pengawasan dan koordinasi layanan kesehatan di tingkat daerah.
Methodius menegaskan, rumah sakit pertama wajib memberikan tindakan stabilisasi medis dalam situasi obstetri gawat darurat, bukan langsung merujuk tanpa pertolongan. Menurutnya, ada dugaan kuat pelanggaran Pasal 174 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang melarang penolakan pasien gawat darurat atau permintaan uang muka.
Ia merekomendasikan Pemprov Papua untuk melakukan audit layanan darurat rumah sakit, penegakan sanksi administratif, pembangunan Sistem Rujukan Terintegrasi (One-Gate Referral System), penguatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) 24 Jam, dan menjamin tidak ada uang muka pada kasus gawat darurat.
“Kematian Ibu Irene Sokoy bukan semata tragedi keluarga, tetapi tragedi kebijakan publik dalam pelayanan kesehatan yang fundamental,” kata Methodius. “Pemerintah Provinsi Papua harus turun tangan untuk memastikan bahwa setiap ibu hamil, di setiap kampung, memiliki hak yang sama untuk hidup dan ditolong.”
Angka kematian ibu dan bayi di Papua jauh melebihi rata-rata nasional, menyoroti masalah kesehatan yang lebih luas di wilayah tersebut.
Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua sebesar 565 per 100.000 kelahiran hidup, dan Papua Barat sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.
Angka kematian bayi (AKB) di Papua tercatat 35 per 1.000 kelahiran hidup, dan Papua Barat 27 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara AKB rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Tingginya kematian bayi berkaitan dengan sejumlah faktor, termasuk keterbatasan layanan neonatal, minimnya tenaga kesehatan, hingga sulitnya akses transportasi bagi ibu dan bayi di daerah terpencil.