PSN Memicu Konflik: Janji Tak Terpenuhi, Pengusaha Kaya Terlibat.

Morowali – Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digadang-gadang sebagai jalan keluar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan, justru membawa dampak sebaliknya bagi masyarakat di enam desa di Morowali, Sulawesi Tengah. Warga mengalami perampasan lahan, hilangnya mata pencarian, hingga kriminalisasi dalam menghadapi proyek tersebut.

Menurut kesaksian Rifiana, warga Desa Ambunu yang menjadi salah satu desa terdampak, pembangunan PSN oleh PT Baoshuo Taman Industri Invesment Group (BTIIG) di wilayah mereka telah mengakibatkan penderitaan. Perusahaan menawarkan kompensasi yang sangat rendah, yakni Rp100 juta hingga Rp150 juta per hektare, untuk tanah yang dianggap produktif oleh warga. Hal ini memicu perpecahan di masyarakat antara yang menerima dan menolak.

Pada 2022, lahan masyarakat seluas sekitar 14 hektare di Desa Ambunu diduga direbut perusahaan pada dini hari tanpa restu atau kesepakatan tertulis dari warga. Saat dikomplain, perusahaan berdalih “salah menggusur”. Mereka yang memilih bertahan semakin terhimpit. Janji perusahaan untuk menyejahterakan masyarakat setempat dinilai jauh panggang dari api.

Ruang hidup masyarakat lenyap. Sawah dan kebun yang menjadi sumber penghidupan petani berubah menjadi patok perusahaan. Nelayan juga menjerit karena wilayah tangkap mereka kini berfungsi sebagai jalur lalu lintas tongkang pembawa material, memaksa mereka melaut lebih jauh dengan biaya besar.

Dampak kesehatan juga mulai terasa. Debu proyek, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan fasilitas *smelter* mengganggu pernapasan warga. Permukiman warga hanya berjarak sepelemparan batu dari lokasi proyek. Tiga desa, yakni Ambunu, Tondo, dan Topogaro, dianggap terdampak paling parah. Warga mengeluhkan gatal-gatal, yang menurut dokter kemungkinan besar dipicu oleh air dan udara yang kotor.

PT BTIIG berencana membangun dan mengelola Indonesia Huabaou Industrial Park (IHIP) seluas 20.000 hektare, yang sudah memasuki fase pembangunan tahap satu. Proyek ini terafiliasi dengan Zenshi Holding Group, perusahaan asal China, dan diklaim sebagai wujud *one belt one initiative* atau “Jalur Sutra Baru” yang didorong pemerintah Xi Jinping. Oleh pemerintah Indonesia, IHIP ditetapkan sebagai PSN dengan nilai investasi sekitar Rp14 triliun.

Warga tidak tinggal diam. Protes berpuncak pada Juni 2024 setelah PT BTIIG dituding mengklaim sepihak jalan desa untuk diubah menjadi rute angkut material tambang (*hauling*). Masyarakat melakukan blokade jalan, mendirikan tenda, dan menuntut perusahaan serta pemerintah mendengar suara mereka.

Tanggapan perusahaan adalah pelaporan lima warga Desa Tondo dan Topogaro ke Polda Sulawesi Tengah. Kemarahan meluas ke Desa Ambunu, di mana sekitar 500 warga, termasuk Rifiana, ikut menutup akses jalan di samping *fly over* IHIP. Warga menganggap perusahaan bertindak sepihak tanpa sosialisasi maupun diskusi. Lima warga Ambunu pun dilaporkan ke Polda Sulteng.

PT BTIIG belum memberikan tanggapan terkait permintaan konfirmasi.

“Ketika perusahaan datang, apalagi membawa embel-embel PSN, semestinya semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat, bukan?” kata Rifiana. “Tapi, mengapa kami sangat dirugikan dan dikorbankan? Lingkungan kami dirusak, hak-hak kami dirampas, kami diintimidasi, dan kami dilaporkan [ke polisi].”

Di balik ambisi pembangunan

Sejak maju dalam Pilpres 2014, Presiden Joko Widodo menjanjikan Nawa Cita, dengan salah satu poinnya adalah pembangunan Indonesia yang dimulai dari “pinggir” untuk memeratakan pembangunan dan memajukan pertumbuhan ekonomi hingga 7% setiap tahun. Pada tahun pertama pemerintahannya, Jokowi berupaya membenahi birokrasi dan merilis belasan paket kebijakan ekonomi untuk percepatan pelayanan dan investasi.

Pada 2016, Jokowi mengarahkan fokus kepada pembangunan berskala besar yang diterjemahkan melalui PSN. Peluncuran PSN ditandai oleh Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Tujuannya adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, memperkuat konektivitas, dan mengurangi ketimpangan. Jokowi juga berharap Indonesia menjadi pemenang dalam perlombaan ekonomi global.

Daftar PSN mencakup bendungan, jalan tol, bandara, hingga kawasan industri, dan dapat berubah sewaktu-waktu. Sejak 2016 hingga 2022, susunan PSN telah berubah lima kali. Per Mei 2024, pemerintah mengklaim 198 PSN rampung dengan total nilai Rp1,6 triliun, yang disebut “berdampak positif pada berbagai sektor ekonomi.”

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 12 Tahun 2024 menetapkan 228 pembangunan berstatus PSN, di samping 16 program. Pulau Jawa masih menguasai pembangunan PSN dengan sekitar 75 proyek. Jokowi membanggakan PSN karena meningkatkan daya saing global dan menyerap belasan juta tenaga kerja. Ia juga mengingatkan agar kepentingan masyarakat harus diletakkan di posisi paling atas: “PSN ini tujuannya adalah memberi manfaat untuk rakyat, bukan justru sebaliknya menderitakan masyarakat.”

Di bawah pemerintahan Prabowo dan Gibran Rakabuming, PSN tetap dilanjutkan. Sebanyak 77 PSN disahkan Prabowo melalui Perpres Nomor 12 Tahun 2025. Proyek-proyek yang dipilih diklaim akan menciptakan nilai tambah signifikan, lapangan kerja bermutu, dan kemakmuran jangka panjang bagi masyarakat Indonesia.

‘Kami kehilangan mata pencarian karena limbah’

Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dulunya adalah tempat di mana masyarakat tidak kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Petani menggarap sawah dan nelayan melaut atau mengurus tambak udang. Namun, setelah pembangunan masuk, kehidupan warga menjadi kocar-kacir.

Anas Padil, warga Morosi, bercerita bahwa sejak 2017, proyek integrasi peleburan baja karat PT Obsidian Stainless Steel (OSS) berdiri di Morosi. Proyek ini diinisiasi oleh Xiamen Xiangyu Group dari China dan dilengkapi PLTU, terminal serbaguna, serta pelabuhan. PT OSS masuk dalam bagian “Jalur Sutra Baru” dan ditetapkan sebagai PSN oleh pemerintah Indonesia.

Sebelumnya, PT Virtue Dragon Nickel Industry (PT VDNi), yang berfokus pada pengolahan nikel dan terafiliasi dengan Jiangsu Delong Nickel Industry dari China, sudah beroperasi. PT VDNi berambisi membangun *smelter* nikel terbesar dan masuk daftar PSN pada 2021 di bawah payung Kawasan Industri Konawe seluas lebih dari 2.000 hektare.

Lokasi dua pabrik ini mengapit permukiman penduduk di Morosi, dengan PT OSS di utara dan PT VDNi di selatan. Anas mengatakan pembangunan ini tidak memihak masyarakat lokal. Banyak lahan warga lenyap setelah diambil alih kedua perusahaan.

Dampak setelah operasi perusahaan juga besar. Di laut, masyarakat sudah tidak dapat mengumpulkan rumput laut, yang merupakan lumbung pendapatan nelayan Morosi. Ini disebabkan oleh *jetty* milik PT OSS yang menjorok ke laut, membuat air keruh dan rumput laut tidak bisa tumbuh maksimal.

Di darat, dua PLTU milik PT OSS dan PT VDNi diduga mengakibatkan lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tenggara melaporkan sekitar 5.000 warga menderita ISPA akibat keberadaan kedua perusahaan. Limbah industri juga mencemari aliran Sungai Motui yang dimanfaatkan masyarakat untuk tambak dan mengairi persawahan, menyebabkan warga kehilangan sumber mata pencarian. Hasil uji laboratorium Walhi Sultra mengonfirmasi pencemaran logam berat pada air sungai.

Masyarakat tidak tinggal diam. Pada Desember 2024, warga menggugat PT OSS dan PT VDNi ke Pengadilan Negeri (PN) Unaaha terkait pencemaran lingkungan. PN Unaaha menyatakan PT OSS terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan mencemari lingkungan, memerintahkan perusahaan untuk transparan, memulihkan lingkungan, menghilangkan bau busuk, dan memperbaiki instalasi pengolahan limbah.

Konflik terus berlanjut. Menjelang akhir Agustus, warga Desa Kapoiala Baru melakukan aksi pemalangan di jembatan jalan PT OSS karena penutupan Kali Alam, sumber mata air warga. Setelah polisi berjanji menindaklanjuti, warga membubarkan diri dengan ultimatum 24 jam. Namun, Kali Alam tetap tertutup, dan PT OSS justru datang membawa ekskavator, membuat warga kembali membubarkan diri.

PT VDNi maupun PT OSS belum memberi tanggapan terkait permintaan konfirmasi.

Anas mengutarakan, masyarakat di sekitar kawasan industri PSN di Konawe, Sulawesi Tenggara, telah jatuh bangun menghadapi kemelut ini, menempuh segala jalur, namun “tidak ada hasil yang memadai di lapangan.” Ia berharap pemerintah mendengarkan keluhan dan melibatkan masyarakat di setiap tahapan pembangunan.

Letupan konflik dan jejak konglomerat

Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Grita Anindarini, memaparkan bahwa isu utama implementasi PSN adalah minimnya informasi terkait proyek itu sendiri. Sejak awal, PSN diatur dalam beleid setingkat peraturan presiden (Perpres Nomor 3 Tahun 2016), tanpa konsultasi publik.

“Jadi, memang rata-rata masyarakat itu pada tahunya bahwa wilayah mereka terkena PSN justru ketika sudah masuk dalam konteks pembebasan lahan, misalnya, atau dalam konteks penyusunan Amdal,” terang Grita. Ini dianggap “cukup terlambat” dan berujung pada banyaknya konflik karena minimnya informasi dan pelibatan masyarakat sejak awal.

Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, sejak 2020 hingga 2024, terjadi 154 konflik akibat PSN. Luas lahan di pusaran konflik mencapai 1 juta hektare, dengan 103 ribu keluarga menjadi korban. KPA menyebut PSN sebagai “Penggusuran Skala Nasional,” yang menjadi alat perampasan tanah, wilayah adat, dan area tangkap nelayan.

PSN juga menyebabkan krisis agraria, sosial, ekonomi, dan lingkungan, menghilangkan sumber pencarian rakyat, serta memobilisasi keuangan negara untuk kepentingan kelompok bisnis. Implementasinya seringkali dilakukan dengan cara represif, intimidatif, manipulatif, dan koruptif tanpa partisipasi rakyat yang bermakna.

Temuan KPA diperkuat analisis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), yang mencatat penggunaan kekuatan berlebihan (*excessive use of force*) dalam konflik ruang terkait PSN. YLBHI menemukan aparat keamanan, khususnya kepolisian, terlibat dalam 50 konflik PSN. Pola kekerasan meliputi intimidasi lisan dan fisik (48 kasus), pecah belah warga (43 kasus), dan kriminalisasi (43 kasus) yang menimpa 212 petani.

Kasus Rempang Eco City di Pulau Galang, Batam, menjadi contoh nyata taktik represi. Komnas HAM menerima pengaduan masyarakat adat tentang intimidasi dan represi. Pada September 2023, 1.000 personel gabungan TNI-Polri dikerahkan untuk pembebasan lahan, disertai tembakan gas air mata. Puluhan warga, termasuk anak-anak dan guru, mengalami sesak napas, pusing, dan mual. Komnas HAM melaporkan adanya pelanggaran HAM selama keberlangsungan PSN dengan dampak berlapis.

Komnas HAM menyoroti regulasi penunjang PSN, terutama Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021, yang dianggap memberikan kekuasaan lebih kepada pemerintah untuk mempercepat pembangunan, termasuk pemangkasan birokrasi pembebasan lahan. “Bank Tanah” yang lahir dari UU Cipta Kerja juga dikhawatirkan merebut lahan masyarakat atas nama “kepentingan umum.”

“Masyarakat tiba-tiba tahu bahwa akan ada PSN di wilayahnya ketika tiba-tiba ada alat berat,” terang Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah. Ia menilai perencanaan, pembuatan kebijakan, hingga implementasi PSN menunjukkan indikasi ketidakterbukaan dan ketidakakuntabelan.

Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA, Benni Wijaya, menyatakan konflik di PSN menunjukkan pemerintah “selalu memotong kompas,” menerabas konsultasi publik dan sosialisasi. Penolakan masyarakat sering diartikan sebagai sikap antipembangunan atau diancam tidak memperoleh ganti rugi.

Riset akademisi UGM, Agung Wardana dan Dzaki Aribawa, berjudul *Pembangunan sebagai Proses Eksklusi: Kajian Hukum dan Ekonomi-Politik atas Proyek Strategis Nasional* (2024), menunjukkan pergeseran makna PSN mengikuti kerangka rasionalitas pasar. Tanah hanya dilihat sebagai aset ekonomi yang bisa dikonversi menjadi uang ganti rugi, mengabaikan nilai simbolik, kultural, atau religius-magis.

Keterlibatan para konglomerat di PSN juga menjadi perhatian. Agung menuturkan, ketika swasta diajak mengambil bagian, “garis batas antara kepentingan publik dan private menjadi sangat kabur.” Kepentingan komersial dapat diklaim sebagai PSN yang melayani kebutuhan umum, memunculkan pertanyaan tentang legitimasi PSN.

“Badan usaha atau aktor swasta mana yang bakal difasilitasi untuk menjalankan PSN tentu saja sangat berkaitan dengan siapa rezim yang berkuasa saat itu,” ungkap Agung. Contoh keterlibatan pengusaha di era Jokowi adalah Tomy Winata (Rempang Eco City, AIH untuk baterai listrik), Sugianto Kusuma/Aguan (PIK 2, Swissotel Nusantara IKN), Franky Widjaja (BSD City), Andi Syamsuddin Irsyad (Jhonlin Group di Papua Selatan), serta Tsingshan Group dan Merdeka Battery Materials (IKIP, IMIP, IWIP). Di era Prabowo, kolaborasi dengan Tomy Winata dan Prajogo Pangestu (PT Chandra Asri Pacific) juga terjadi.

‘Warga sudah mengadu ke pemerintah dan semua jalan buntu’

Advokat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy K. Wahid, mengungkapkan bahwa warga terdampak PSN telah menempuh berbagai upaya untuk memperjuangkan hak mereka, mulai dari mengadu ke DPR, pemerintah, hingga menggugat ke pengadilan. Namun, hampir semua jalan itu buntu.

“Semua saluran-saluran komplain, baik melalui mekanisme eksekutif, yudikatif, maupun legislatif, itu buntu. Hampir enggak ada jalan,” kata Edy, yang menilai kebuntuan ini didorong oleh status PSN sebagai “proyeknya presiden” yang ditopang oleh oligarki.

Meski demikian, masih ada satu saluran yang belum dicoba: Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh karena itu, koalisi sipil bernama Gerakan Rakyat Menggugat PSN (Geram PSN), yang terdiri dari berbagai organisasi sipil dan perwakilan masyarakat korban PSN, kini maju ke MK.

Geram PSN memetakan permasalahan PSN berakar pada Pasal 3 huruf d Undang-Undang Cipta Kerja, yang disebut Edy sebagai “pasal jantung” yang menjadi payung penyesuaian semua aturan ihwal PSN. Pasal ini menyatakan peraturan dalam UU Cipta Kerja perlu menyesuaikan dengan kemudahan dan percepatan PSN, namun dinilai kabur dan tidak disertai petunjuk norma lanjutan seperti prinsip kehati-hatian lingkungan dan perlindungan masyarakat.

Dampak pasal “percepatan PSN” ini adalah munculnya pasal-pasal turunan yang melayani PSN, seperti perluasan definisi “kepentingan umum” dalam Undang-Undang Pengadaan Tanah untuk mencakup kawasan industri dan kawasan ekonomi khusus. “Padahal itu sangat melenceng jauh dari tafsir kepentingan umum. Dipakai juga untuk [pihak] swasta,” tegas Edy.

Pemerintah, saat persidangan di MK September lalu, mengklaim pelaksanaan PSN telah mengakomodasi kebutuhan daerah dan membuka ruang partisipasi. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Borobudur, Faisal Santiago, saksi ahli dari pemerintah, menyatakan pengaturan PSN lebih mengakomodasi prinsip federalisme dan distributif.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan pemerintah berupaya menyelesaikan konflik agraria PSN secara komprehensif, salah satunya melalui sertifikasi tanah untuk kepastian hukum. Pemerintah juga berjanji melakukan pengawasan ketat terhadap PSN yang sedang berlangsung.

Grita Anindarini dari ICEL meminta pemerintah mengoreksi regulasi yang memuluskan PSN dan bergerak sesuai koridor. Ia juga menuntut transparansi dalam penetapan PSN, termasuk alasan pemilihan lokasi dan kapasitas daerah menampung proyek besar.

Agung Wardana dari UGM menekankan perlunya pemerintah mengubah cara berpikir paternalistik. “Ini sangat paternalistik, bahwa pemerintah, seperti kepala keluarga, merasa tahu apa yang diperlukan anaknya tanpa mengajak dialog,” ujarnya. Agung mengingatkan bahwa indikator sosial tidak boleh dilupakan saat berbicara pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Konflik yang terjadi seharusnya menjadi “batu uji” apakah PSN benar-benar memberikan manfaat kepada publik.

Edy berharap MK dapat mengeluarkan putusan yang memihak warga terdampak PSN. Konflik yang meledak di berbagai PSN adalah alarm serius bagi pemerintah soal tata kelola pembangunan. PSN terbukti tidak memenuhi janji memajukan perekonomian, melainkan menyebabkan banyak penderitaan bagi warga.

Koalisi Geram PSN mendesak MK membatalkan Pasal 3 huruf d Undang-Undang Cipta Kerja. Dengan dicabutnya ketentuan itu, tidak akan ada lagi proyek pembangunan yang terkesan diistimewakan, dan PSN harus tunduk pada aturan umum yang berlaku, bukan sebaliknya.

Rekomendasi