Sekolah Mandiri Kelola Dapur, Atasi Ribuan Kasus Keracunan

Solo – Aksi penolakan terhadap program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin menguat seiring dengan maraknya kasus keracunan. Sejumlah sekolah memilih tidak menjalankan program MBG dan melanjutkan program mandiri yang sudah ada.

Kasus keracunan terkait MBG terus terjadi hingga pekan lalu. Insiden terbaru menimpa lebih dari 426 siswa SMAN 1 Yogyakarta yang mengalami diare dan sakit perut setelah mengonsumsi MBG pada Kamis (16/10) dini hari.

Data Kementerian Kesehatan per 5 Oktober mencatat, jumlah korban keracunan terkait MBG sejak awal tahun ini mencapai lebih dari 11.000 orang. Hal ini memicu gelombang penolakan dari orang tua siswa dan sekolah.

Sejumlah sekolah tetap mempertahankan program makanan bergizi yang sudah berjalan, menolak program MBG yang menelan anggaran ratusan triliun.

‘Pilih dapur sehat karena enak, kalau MBG takut’

Di Solo, Jawa Tengah, SD Muhammadiyah 1 Ketelan telah memiliki dapur sehat sejak 2015. Bangunan dapur itu dilengkapi sertifikat penghargaan kebersihan dan higienitas dari berbagai lembaga pemerintah.

Lima pegawai perempuan sibuk menyiapkan makanan untuk 680 orang, termasuk 615 siswa dan 65 karyawan sekolah. Menu kali ini adalah nasi kari.

Menjelang jam istirahat, staf sekolah mengantarkan nasi, kuah, dan lauk ke depan kelas. Siswa mencuci tangan dan berdoa sebelum mengambil makan siang.

Setiap siswa membawa piring keramik dan mengambil nasi serta kuah sendiri, sementara guru membantu menambahkan lauk.

Selena, siswi kelas III, mengaku senang dengan nasi kari dari dapur sehat sekolahnya. Ia lebih memilih makanan dari dapur sehat karena takut keracunan jika mengonsumsi MBG.

“Cocok kalau makan nasi dapur sehat. [Kalau MBG] tidak mau karena takut keracunan,” ujarnya.

Hamdan Zulfa Al Fatih juga memilih hidangan dari dapur sehat karena alasan yang sama. “Pilih dapur sehat karena enak, kalau [MBG] takut,” katanya.

Winarsi, pengelola dapur sehat SD Muhammadiyah 1 Ketelan, menjelaskan bahwa dapur mandiri ini sudah beroperasi sejak 2015 sebagai bagian dari inisiatif sekolah sehat. Tujuannya adalah menyediakan makanan sehat bagi siswa karena sebelumnya kebersihan pedagang di sekitar sekolah sulit dikontrol.

“Kita juga memberikan pendidikan karakter kepada anak-anak, salah satunya untuk anak-anak itu terbiasa makan sayur karena anak-anak itu kan lebih suka yang junk food. Maka di sekolah memotivasi anak-anak untuk makan sayur melalui dapur sehat,” kata Winarsi.

Makan siang di dapur sehat dijual seharga Rp10.000 per porsi dengan menu yang bervariasi setiap hari. Menu diumumkan kepada orang tua melalui grup kelas. Jika ada siswa alergi, orang tua dapat memberitahu sekolah agar lauknya diganti.

Untuk menjaga kandungan gizi, sekolah menggandeng Puskesmas Setabelan untuk mengukur dan menentukan gizi dalam setiap menu.

Dapur sehat juga berperan menanamkan kebiasaan antre tertib kepada siswa.

“Kita itu memang memilihnya itu piring yang keramik itu sehingga bagaimana anak-anak bisa menjaga keamanan piring itu mulai dia ambil dengan mengantre sambil nanti kembali lagi ke tempatnya.”

“Karena di sini anak-anak itu kan makannya prasmanan, dia ambil sendiri sesuai dengan kebutuhan mereka. Ini kita juga mendukung program pemerintah stop boros pangan,” ujar dia.

Selama 10 tahun berdiri, dapur sehat ini telah meraih berbagai penghargaan dan menjadi rujukan studi banding bagi sekolah lain.

Pelaksanaan program MBG di sekolah ini ditunda karena keberatan dari sekolah dan orang tua siswa. Mereka khawatir dapur sehat yang sudah berjalan satu dekade harus ditutup.

Pj Kepala Sekolah SD Muhammadiyah 1 Ketelan, Sri Martono Lanjar Sari, berharap pengelolaan MBG dilakukan oleh pihak sekolah sendiri, bukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Winarsi juga berharap agar sekolah diberi kesempatan mengelola MBG sendiri karena sudah berpengalaman menyediakan makan siang selama 10 tahun.

“Jadi besar harapan kami dengan adanya MBG itu sekolah diberi kesempatan untuk mengelola MBG sendiri karena kita juga memberikan edukasi kepada anak-anak.”

“Yang dulunya anak-anak sudah terbiasa cuci piring sendiri, nanti tiba-tiba ada MBG maka pembiasaan itu akan berhenti,” ujar dia.

Jika MBG dikelola SPPG, lima pegawai dapur sekolah akan kehilangan pekerjaan.

Cici, salah satu orang tua siswa, mengaku khawatir dengan insiden keracunan terkait MBG. Ia berharap pemerintah mengevaluasi program tersebut dan membolehkan MBG dikelola langsung oleh kantin dan dapur sekolah.

“Karena SD Muhammadiyah sudah memiliki kantin dan dapur sehat bersih berkualitas, baik dari kesehatan, kebersihan menu makanan dan tidak ada masalah dengan anak-anak kami,” harapnya.

Ia berharap program MBG diserahkan ke masing-masing kantin sekolah agar tidak membahayakan siswa.

“Semoga Bapak Presiden mendengarkan keluhan-keluhan dari orang tua yang menginginkan agar MBG masuk ke sekolah dan dikelola kantin sekolah agar semua anak menjadi sehat, aman, orang tua pun di rumah tenang tidak merasa ketakutan, was-was dan sebagainya,” imbuhnya.

Pamekasan – Raudhatul Athfal (RA) Insan Cendekia dan Madrasah Ibtidaiyah Al-Qur’an Internasional (MIQI) Darussalam di Pamekasan, Jawa Timur, juga memilih melanjutkan program makan bergizi mandiri yang sudah berjalan tiga tahun, meskipun tidak gratis. Iuran harian sekitar Rp5.000 per siswa.

“Kami mengadakan survei dengan standar kami dan keputusan antara lembaga dengan yayasan, kami menyatakan belum siap [menerima MBG] karena dari wali murid juga tetap kepada menu yang ada di lembaga,” ujar kepala sekolah, Herman, pada awal Oktober lalu.

Herman menegaskan sekolah tidak menolak MBG, tetapi belum siap dengan masalah yang muncul, termasuk insiden keracunan.

Program makan mandiri dinilai lebih efektif, terpercaya, dan menunya dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama. Ada pencatatan khusus bagi siswa yang alergi makanan.

“Yang jelas program sudah terlaksana terlebih dahulu. Kemudian pertimbangan dari wali murid juga menjadi hal utama, kami tidak bisa menerima [MBG]. Belum bisa menerima,” tegasnya.

Program makan siang bergizi ini digagas sejak lembaga pendidikan itu berdiri pada Juni 2023. Tujuannya adalah menjauhkan siswa dari makanan berbahaya dan memenuhi gizi tambahan.

“Bagaimana kami menciptakan generasi penerus bangsa ini terutama anak-anak usia dini ini jauh dari makanan yang mengandung zat-zat kimia [berbahaya]. Satu contoh snack-snack yang tidak menyehatkan ke anak-anak,” katanya.

Lewat program ini, sekolah ingin merajut kebersamaan dan membentuk karakter siswa, termasuk memberikan contoh tata cara makan yang baik sejak dini.

Firli Nisa, salah satu wali murid, memilih program berbayar ini karena lebih sehat untuk anak-anak.

“Kalau saya pribadi sebagai orang tua yang anak saya disekolahkan di sini, lebih memilih program yang ada dari sekolah karena memang sehat untuk anak-anak,” katanya.

Puri Sosianti juga setuju program sekolah dilanjutkan karena menunya lebih meyakinkan.

“Alasan saya memang kalau MBG itu, saya tidak tahu menu apa setiap harinya. Kemudian meskipun gratis, kurang meyakinkan kepada saya sebagai orang tua,” kata Puri.

“Sedangkan kalau program yang dari sekolah itu sudah menunya satu bulan penuh sudah ditentukan dan kami sebagai orang tua sudah tahu menu-menu setiap harinya,”

Makanan dibagikan pada pagi hari saat jam istirahat. Siswa dikumpulkan di teras madrasah, duduk bersila, dan berdoa bersama. Guru membagikan sepiring soto dan buah jeruk.

Qotrunnada Abror, siswa kelas I MIQI Darussalam, senang mendapatkan makanan bergizi di sekolah. Menunya setiap hari berubah-ubah.

“Makanannya enak,” kata Nada.

Untuk menyiapkan menu, sekolah melibatkan guru dan warga sekitar. Salah satu guru ditunjuk sebagai koordinator. Sekolah juga memastikan keamanan dan kesehatan makanan.

“Kami sudah mewanti-wanti kepada tim dan kepada yang masak bahwa ini diberikan ke anak-anak, jangan sampai makanan sehat ini menjadi tidak sehat,” kata Herman.

Tantangan yang dihadapi adalah menyiapkan menu berbeda bagi siswa yang alergi makanan tertentu.

“Ketika alergi ayam, alergi telur, ini kami harus menyiapkan menu sendiri untuk anak-anak. Bahkan, ada yang fobia nasi begitu. Yang fobia nasi, kami siapkan wafer,” jelasnya.

Puri Sosianti Astrina mengatakan menu makan siang yang diberikan sekolah cukup memenuhi kebutuhan gizi anaknya.

“Saya lihat di menunya setiap hari ada sayur, ada ikan, terus setiap hari Jumat dan Sabtu biasanya diimbangi sama buah-buahan,” kata Puri.

Setiap awal bulan, orang tua bisa mengetahui menu melalui grup WhatsApp.

Tasikmalaya – Jauh sebelum program MBG diluncurkan, murid di Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Yayasan Al Muttaqin Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, rutin mendapatkan makan siang yang diolah dan disajikan secara mandiri di dapur sekolah.

Yayasan Al Muttaqin menyediakan makan siang sejak 29 tahun lalu, saat SD Al Muttaqin berdiri pada 1996. Murid bersekolah sepanjang hari sehingga memerlukan makan siang.

“Kami dengan yayasan berinisiatif anak-anak makan saja di sini [sekolah] supaya tidak bawa dari rumah. Lumayan ribet orang tua juga [menyiapkan bekal sekolah],” ungkap Kepala Sekolah SD Al Muttaqin, Otong Tatang.

Awalnya, dapur sekolah dikelola pihak ketiga. Namun karena “sulit mengontrol makanan yang disajikan,” yayasan memutuskan mengelola dapur secara mandiri dengan merekrut sejumlah pegawai pada 2002.

“Kalau sekarang, kami di sini menyediakan dapur sendiri dan kelihatan memasaknya seperti apa, kami lebih yakin. Dan Alhamdulillah dari mulai berdiri sampai sekarang tidak ada kejadian yang menyusahkan anak-anak, terutama dari makanan ini,” ucap Otong.

Yayasan Al Muttaqin membangun tiga dapur sekolah untuk setiap jenjang pendidikan SD, SMP, dan SMA dengan total 3.000-an murid dan staf sekolah.

“Kenapa tidak disatudapurkan, karena kami memberikan layanan yang berbeda,” kata Humas LPI Yayasan AL Muttaqin, Yayan Sofyan.

Layanan berbeda adalah pemberian makan siang yang disesuaikan dengan kebutuhan murid di setiap jenjang pendidikan. Porsi makan murid SD berbeda dengan SMP. Murid SMP mendapatkan porsi karbohidrat lebih banyak. Murid SMA mendapatkan makanan dengan konsep prasmanan.

“(Makanannya) dimasukkan juga ke dalam boks, tapi sudah disiapkan nasi tambahan untuk anak-anak yang memerlukan karena aktivitas SMP itu menghabiskan banyak kalori energi. Artinya dari nasi atau glukosa yang dibutuhkan. Sedangkan untuk murid SMA, kami menyediakannya berbeda lagi dengan konsep prasmanan,” tutur Yayan.

Selain menyiapkan dapur sekolah, Yayasan Al Muttaqin memperkerjakan ahli gizi pada 2010 untuk memastikan kualitas gizi dan keamanan makanan.

“Yang paling utama, kenapa kita mengambil ahli gizi, (karena) dia lebih tahu kualitas gizinya. Jadi kalau gizinya sudah terpenuhi, sudah betul-betul gizi yang seimbang, InsyaAllah dijamin keamanannya,” tutur Otong.

Dana operasional dapur sekolah berasal dari iuran sekolah yang dikelola yayasan. Orang tua murid diberi keleluasaan mengusulkan menu dan mengecek proses memasak di dapur.

“Kalau biayanya itu dari anggaran sekolah di RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah). Kalau di sini kan anggaran itu disatukan di lembaga atau yayasan. Jadi semua diurus oleh yayasan,” ungkap Otong.

Sejak pukul 03:00 WIB, dapur sekolah SD Al Muttaqin sudah sibuk menyiapkan bahan baku. Menu pada Kamis (15/10) adalah sayur sop, ayam bakar, dan es susu.

Koki mulai memasak pukul 05:00 WIB untuk 1.000 lebih porsi makan siang. Makanan yang sudah matang didinginkan sebelum ditata dalam wadah makanan.

“Kalau mulai pukul 05:00 itu, masak beres sekitar pukul 08:00 WIB. Lalu, kami porsi [menata makanan dalam wadah] sampai sekitar pukul 10:00-11:00 WIB, tergantung menu yang disajikan juga. Kalau menunya agak ribet, maka waktu yang dibutuhkan semakin lama. Setelah itu, makanan diproses untuk dibagikan ke siswa nanti siang,” papar Penanggung Jawab dan Ahli Gizi Dapur Yayasan Al Muttaqin, Siti Rahayu.

Makanan disajikan berdasarkan kelas. Murid kelas 1 dan 2 mendapatkan makan siang di ruang kelas. Murid kelas 3 hingga 6 mengambil sendiri jatah makan siang dan menyantapnya di ruang makan.

Dalam memenuhi gizi anak-anak, Siti mengatakan, pihaknya mengacu pada Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan komposisi karbohidrat, protein, sayur, buah, atau makanan yang dibuat berdasarkan permintaan murid. Menunya disesuaikan siklus menu yang telah disepakati pihak sekolah dan yayasan, juga orang tua murid.

“Siklus menu kita biasanya kan seminggu itu lima hari untuk sekolah. Jadi dua kali ayam, satu kali telur, satu kali ikan, dan satu kali daging sapi,” sebut Siti.

Pihak sekolah terbuka menerima masukan menu dari orang tua murid, terutama orang tua dari murid yang sedang sakit atau alergi makanan tertentu. Makanan pengganti bagi anak-anak dengan kondisi khusus selalu disiagakan di dapur.

Siti juga sering menerima permintaan makanan yang sedang viral dari siswa-siswi. Ia pernah diminta membuat seblak dengan tetap memenuhi AKG.

“Kalau mengatur menu, bisa dilihat sehari-hari anaknya seperti apa, juga dilihat makanan yang sedang viral itu apa. Nanti bisa dikombinasikan lagi dengan menu yang di sekolah. Jadi kami sesuaikan (menunya), bukan hanya makanan sehat dan enak, tapi yang lagi hits dan anak-anak suka, kami bikin juga di sekolah. Terkadang kan anak-anak bosan dengan makanannya, kalau menunya itu-itu terus,” papar Siti seraya menambahkan pengaturan kadar gula garam disesuaikan dengan takarannya.

Bahan baku diupayakan makanan alami dan segar serta menghindari makanan ultra processed food (UPF). Sesekali, UPF digunakan untuk memenuhi kemauan murid atas izin orang tua.

Kasus keracunan yang belakangan marak terjadi, menjadi bahan evaluasi Siti dalam mengelola dapur sekolah. Pengawasan bahan baku makanan semakin diperketat. Jika ditemukan bahan makanan yang sudah tidak segar, pihaknya akan mengembalikan ke penyuplai.

“Kalau pun masih fresh juga, jangan henti dicek. Setelah proses penerimaan barang kan ada proses simpan. Nah, kami lihat dulu disimpannya baik atau tidak. Misalkan untuk daging atau bahan beku. Kami cek lagi freezer-nya bagus atau tidak. Terus, suhunya dicek kembali. Jadi harus sering dicek. Jangan bosan mengecek,” tegas Siti.

Kebersihan dapur, alat makan, dan masak dilakukan secara berkala sebelum dan sesudah makan. Pembersihan menyeluruh dilakukan setiap satu atau dua bulan dengan melibatkan semua pegawai yang berjumlah 11 orang.

Dapur mandiri SD Al Muttaqin telah mendapat Sertifikat Laik Higiene-Sanitasi (SLHS) dari Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya pada 2018. Sertifikat tersebut sedang dalam proses perpanjangan setelah habis masa berlakunya.

Ela, orang tua murid yang menjadi pengurus Komite Sekolah ini mengaku sangat terbantu dengan adanya dapur mandiri sekolah.

“Sangat terbantu. Anak saya asalnya sangat pemilih, tapi setelah masuk ke sini, teman-temannya mencicipi, jadi dia juga penasaran. Akhirnya, sekarang mau masuk (makan) segala macam yang disajikan di sekolah,” beber Ela.

Ela mengapresiasi langkah sekolah membangun dapur mandiri dalam penyediaan makan siang bagi murid. Hal itu, menurutnya, sangat membantu orang tua yang kesulitan menyiapkan bekal sekolah setiap pagi.

Sekolah juga memberi keleluasaan pada orang tua murid untuk turut memantau setiap proses penyajian makan siang di dapur. Beberapa kali, Ela ikut mengusulkan menu untuk anaknya yang alergi ikan.

Selain orang tua, murid juga merasa terbantu. Seperti yang diungkapkan Balqis Kamilia Khairan. Siswi kelas 4 SD ini, tidak perlu repot membawa bekal sekolah dari rumah, seperti saat bersekolah di taman kanak-kanak.

Kepala Sekolah SD Al Muttaqin, Otong Tatang, mengklaim selama 29 tahun menyediakan makan siang bagi anak didiknya, tidak pernah terjadi kasus keracunan.

Humas LPI Yayasan Al Muttaqin, Yayan Sofyan, mengatakan pihak yayasan ingin mengelola sendiri program MBG dari pemerintah melalui dapur mandiri sekolah.

“Katanya persyaratannya belum lengkap. Keinginan lembaga (yayasan) sejak kehadiran MBG ini, kami mau dikelola sendiri. Karena kami harus memberikan layanan (makan siang) kepada guru-guru. Kemudian juga tidak memberhentikan karyawan katering yang sudah berjalan,” jelas Yayan.

Orang tua murid juga mengaku lebih nyaman dengan dapur mandiri dibanding mendapat MBG. Ela tidak yakin orang tua murid bisa terlibat menentukan menu dan memantau operasional dapurnya.

“Nah kalau MBG masuk, saya tidak yakin,” pungkas Ela.

‘Makanan sehat tidak perlu aneh-aneh’

Ahli gizi, dokter Tan Shot Yen, mengatakan makanan dari dapur mandiri sekolah ini telah memenuhi gizi jika konsep “Isi Piringku” dijalankan dengan baik.

Konsep “Isi Piringku” adalah panduan gizi seimbang dari Kementerian Kesehatan yang menggantikan empat sehat lima sempurna. Intinya, membagi piring menjadi dua bagian besar: separuh diisi sayur dan buah, separuh sisanya makanan pokok mengandung karbohidrat dan lauk pauk mengandung protein.

“Makanan sehat itu tidak perlu aneh-aneh, simpel, murah, tapi kelihatan banget gizinya,” ujar dokter Tan.

Selama ada sayur, buah, makanan pokok dan protein, menurut dokter Tan, “Itu cukup”.

“Jadi sesederhana misalnya Anda mendapatkan nasi pecel, lalu kemudian pakai soto ayam, lalu buahnya pisang. Itu sudah lebih dari cukup. Atau besoknya lagi diganti nasi pakai ayam bakar, pakai sayur asem.”

Dokter Tan menyatakan, program makanan bergizi mandiri dari sekolah yang diproduksi dari dapur sehat milik sekolah bisa jadi salah satu solusi memitigasi insiden keracunan terkait MBG.

“Tentu saja. Karena dengan semakin pendek jarak antara dapur dengan penerima manfaat, itu akan semakin sempit kemungkinan keracunan itu muncul,” tegasnya.

Dengan semakin memperpendek jarak antara dapur dengan penerima manfaat, kata dokter Tan, risiko kontaminasi bakter akan semakin kecil.

Dia pun menganggap bahwa inisiatif ini bisa diterapkan di daerah 3T—terdepan, terluar, terpencil—yang semestinya menjadi target utama MBG.

Dia kemudian mengkritik skema MBG yang terpusat melalui Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menghadapi kesulitan besar dalam memastikan pengiriman makanan yang tepat waktu dan berkualitas ke daerah-daerah yang memiliki akses yang sulit, jauh dari pusat kota, atau terisolasi. Infrastruktur yang kurang memadai menjadi kendala utama.

“Syarat dari BGN itu sangat keukeuh, mau dibangun SPPG yang sesuai dengan mereka punya kerangka acuan, yang mana kalau dipikir-pikir, kalau melihat medan, itu tidak dimungkinkan.”

Dia mencontohkan, daerah terpencil seperti wilayah pegunungan Lani Jaya di Papua Tengah, akan sulit dibangun dapur setara SPPG. Namun di wilayah tersebut ada sekolah.

Alangkah baiknya, menurut dokter Tan, ada ibu-ibu di sekitar sekolah yang menjadi relawan untuk mengelola dapur mandiri seekolah.

“Kita bisa mengumpulkan orang-orang dari daerah-daerah yang cukup terpencil untuk bisa kita bina, kita didik,” ujarnya, seraya menambahkan bahan pangan untuk program itu bisa menggunakan bahan baku dari komunitas itu.

Lebih jauh, dokter Tan berpandangan dia meragukan keberhasilan program MBG dengan kebijakan yang bersifat sentralistik atau dari atas ke bawah (top-down).

Sebaliknya, ia meyakini bahwa pendekatan yang lebih efektif adalah yang bersifat inklusif, yaitu merangkul dan membuat masyarakat merasa memiliki program tersebut, alih-alih hanya menganggapnya sebagai proyek pemerintah.

“Kalau menurut saya itu jauh lebih ramah masyarakat.”

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah kini membuka opsi agar program MBG tidak lagi sepenuhnya terpusat, melainkan melibatkan sekolah yang siap mengelola penyediaan makanan secara mandiri melalui konsep dapur sekolah (school kitchen).

“Sehingga, tidak semuanya harus melalui cara seperti yang sekarang ini ada. Tapi, ini masih kami bicarakan di rapat lintas kementerian,” ujar Mu’ti seperti dikutip dari kantor berita Antara, Kamis (16/10)

Mu’ti menjelaskan, mekanisme school kitchen ini masih dibahas oleh lintas kementerian, dan sistem pengelolaan baru MBG secara keseluruhan baru akan dipastikan setelah Peraturan Presiden (Perpres) yang baru diterbitkan.

Akhir pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk terus menyempurnakan pelaksanaan program MBG agar tidak lagi ditemukan kasus yang mengalami keracunan akibat makanan.

Dalam orasi ilmiah saat Wisuda Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (18/10) lalu, Prabowo melaporkan hingga saat ini, program MBG telah mendistribusikan antara 1,3 hingga 1,4 miliar porsi makanan kepada 36,2 juta penerima.

Dari jumlah itu, tercatat sekitar 8.000 kasus keracunan makanan, kata Prabowo, yang secara statistik setara dengan 0,0007 persen, atau tingkat keberhasilan program mencapai 99,99 persen.

“Jadi di mana ada usaha manusia yang 99,99 persen berhasil, dibilang gagal. Tapi kita tidak mau ada satu pun, tidak boleh ada satu pun anak yang sakit,” kata dia.

Jumlah keracunan terkait MBG versi Prabowo lebih sedikit dari jumlah kasus keracunan yang dicatat Kementerian Kesehatan lewat Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).

Per 5 Oktober pukul 17.00 WIB, tercatat 119 kejadian dengan 11.660 kasus keracunan MBG. Dengan kejadian terbanyak terjadi di Jawa Barat, sebanyak 34 kasus.

Rekomendasi