Gumpalan kapas keabu-abuan kembali menghalangi langit ibu kota sore ini, sepertinya hujan kan turun sebentar lagi. Benar saja, tak lama, tetes demi tetes air mulai berjatuhan dari langit seraya membasahi sudut-sudut kota yang menggersang.
Sebagian orang yang terlihat berlalu lalang, menyeberangi ruas jalan dengan berlindung di bawah payung-payung yang mengembang. Sebagian lagi memilih untuk berteduh di halte atau warung makan emperan dan sebagian lainnya memilih untuk pergi ke cafe terdekat.
Dalam kondisi seperti ini, tentu saja tak banyak orang yang peduli dengan keadaan orang di sekitarnya. Siapa yang peduli jika di dekat mereka, seseorang tengah bersedih musabab hati yang baru saja tersakiti atau mungkin sedang bergembira dengan kabar suka-cita.
Salah satu di antaranya adalah Rena—gadis bermata cokelat yang tampak tengah duduk di salah satu bangku di bagian paling sudut toko buku “Babuyuk”. Sembari memandangi tetesan air yang mengalir deras dari kaca transparan yang berada tepat di hadapannya. Meski begitu, Rena tidak peduli—sama sekali tidak peduli dengan semua yang terjadi di luar sana. Tatapan matanya kosong, hanya terpaku pada air yang mengalir deras. Meski sesekali angin berembus dengan kencang dan membuat beberapa dahan terlihat menari tak beraturan. Tapi Rena tak peduli—ia tetap tak peduli.
Rena hanya peduli pada suasana hatinya yang tengah bergemuruh. Ada perdebatan sengit antara hati dan pikirannya. Logikanya secara gamblang bersikeras menyatakan tidak, tapi batinnya terus memaksa untuk bisa mempercayai hal sebaliknya.
Rena memejamkan matanya, memberikan ruang bagi tubuhnya untuk sejenak bernapas lega. Ia memberikan kesempatan kepada memorinya untuk memutar kembali “kaset rusak” yang telah lama ia simpan rapat-rapat, lantas ia juga mengizinkan hatinya untuk bisa berkompromi dengan apa yang terjadi setelahnya. Namun, bukan solusi yang ia dapat, melainkan lebih banyak tanda tanya yang bermunculan. Ia tak tahu harus bagaimana, juga tak mengerti harus menyelesaikannya dari mana.
Seketika Rena semakin membenci hujan, meski ia pernah sangat mengharapkan setiap kedatangannya. Bukankah hal yang paling kita sukai, beresiko lebih besar untuk bisa lebih menyakiti?
“Boleh saya duduk di sini?” Suara itu kembali terdengar. Sudah kesekian kali pemuda itu meminta persetujuan Rena, tapi yang ditanya hanya diam. Diam berarti ya, begitu pikir pemuda yang kemudian dengan segera duduk berhadapan dengan Rena.
Keheningan terjadi di antara keduanya. Bagaimana tidak, pemuda tadi sudah tenggelam dengan buku bacaannya, sedangkan Rena masih asyik dengan lamunanya. Pemuda itu bukan tidak peduli, ia sesekali mengintip dari balik bukunya, lantas tersenyum.
Tidak ada yang tahu jika membaca buku atau sekedar meminta persetujuan Rena hanya alibinya untuk bisa dekat dengan Rena. Namanya Ray—pemuda jangkung berambut hitam yang sejak pertama Rena datang ke toko buku untuk kemudian memilih buku keluaran terbaru dan memilih tempat paling sudut yang notabenenya tempat paling sunyi untuk membaca, tapi Rena hanya diam tanpa membuka lembar buku itu sedikit pun. Tentu saja, Rey penasaran.
“Apa saya sudah memberi izin untuk kamu, supaya bisa duduk di depan saya?” Akhirnya setelah beberapa menit, Rena memecah gelembung yang ia buat sendiri.
Ray tersenyum, “Saya sudah minta izin, tapi kamu diam. Bukannya diamnya wanita berarti iya? Lagi pula ini toko buku, tempat umum, siapa pun boleh duduk dimana saja selagi tempat itu kosong, kan?” Rena hanya membalas dengan tatapan sinis, “Pengganggu,” batinnya.
“Apa kamu selalu begini? Maksud saya, selalu datang kemari, memilih buku terbaik yang ada di toko, kemudian duduk memandangi jendela seharian tanpa berniat membaca buku itu sedikit pun? Sayang sekali, padahal buku itu keluaran terbaru, saya sudah baca, ceritanya sangat menarik tentang—”
“Bukan urusanmu!” Rena memotong obrolannya dengan Ray dan langsung berdiri meninggalkan Ray yang melongos dibuatnya.
-o0o-
Rena sudah berada di sebuah ruang rawat inap di salah satu rumah sakit ternama. Ia duduk memandangi seorang pemuda yang tengah terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang rumah sakit. Rena kemudian menatap pemuda itu lamat-lamat dengan tatapan nanar.
“Kenapa lo lakuin itu ke gue? Salah gue apa?” batin Rena berteriak.
Lama memendam kesal, Rena akhirnya terlelap. Tanpa sadar, Rena menggenggam jemari tangan pemuda itu dalam tidurnya. Ternyata sekuat apa pun Rena mengelak, dia tetap tidak bisa menyembunyikannya, bahkan saat raganya tengah tertidur pulas.
“Ren…” Terdengar suara yang memanggil lembut nama Rena. Ia terbangun, kepalanya seperti sedang diusap oleh sesuatu yang membuatnya nyaman.
“Oh udah sadar, mau gue panggilin dokter?” tanya Rena dengan nada datar. Ia segera bangkit dan menjauhkan dirinya dari pemuda itu. Yang ditanya hanya menggeleng, “Gak usah.’
Rena kembali diam untuk beberapa saat, “Oh ya udah, gue pergi dulu, ya,” kata Rena sambil membereskan beberapa barang-barangnya yang berserakan di atas nakas. Pemuda itu menggenggam tangan Rena, “Kok lo masih di sini, Ren? Lo gak marah lagi, kan?”
Tangan itu segera ditepis oleh Rena, “Yan, lepasin!”
Rena berlalu meninggalkan pemuda yang dipanggi ‘Yan’ itu. Sesekali ia mendengar namanya dipanggil oleh Rian. Namun, Rena berusaha untuk tidak memperdulikannya.
-o0o-
Sudah hampir tengah malam, tapi Rena belum pulang. Ia tengah duduk menengadah ke arah langit, hujan sudah berhenti, mempersilakan rembulan unjuk gigi menyinari malam yang semakin sunyi.
“Loh, kamu?” Tiba-tiba suara itu terdengar dari arah belakang. Suara yang membuyarkan lamunan Rena (lagi). Ia menoleh, menangkap sosok Ray tengah berdiri dan berlari ke arahnya.
Malam itu, Rena mempersilakan Ray untuk masuk ke dalam kisah hidupnya. Dan malam itu juga, semua terlihat nyata bagi Rena. Karena Rena telah berhasil menemukan jawaban atas pertanyaan yang seringkali menyambangi pikirannya tanpa henti.
-o0o-
“Ren, tadi lo kemana?” tanya Rian setelah Rena kembali ke dalam kamar inapnya. Rena seketika mematung, tapi kemudian ia berusaha untuk tenang. “Kemana tadi, Ren?” tanya Rian sekali lagi. Namun, yang ditanya masih diam—sedang menyusun hati.
“Masih marah ya, Ren? Ren, gue punya penjelasan buat semua ini, Ren. Itu semua gak seperti yang lo—”
“Santai, Yan. Gue ngerti, gue gak marah. Buat apa juga gue marah. Marah sama orang yang nggak menghargai keberadaan gue itu, sia-sia, Yan.”
“Ren, maaf gue—”
“Gue gak marah sama lo, Yan. Gue mohon jangan minta maaf lagi. Toh sekarang lo udah dapet karmanya, kan? Lo ngejar perempuan gak baik dan malah jadiin gue sebagai bayang-bayang dan pelarian lo doang. Gapapa, Yan, gue udah lega kok, lo udah dapet karmanya,” kata Rena dengan nada frustasi. Rian hanya bisa diam.
“Gue bakal terus berjuang buat lo, kok!” kata Raina. Rian hanya memandangi Rena dengan penuh tanda tanya, sedikit tidak percaya.
“Iya, gue bakal terus berjuang buat lo. Terserah deh lo mau bilang gue perempuan bodoh atau apa, tapi gue cuma mau ikutin apa kata hati gue. Udah cukup juga hati sama logika gue perang dingin. Lagi pula, lo satu-satunya keluarga yang gue punya.” Akhirnya semua kata-kata itu terlepas dari mulut Rena. Meski rasanya sedikit berat, tapi ia lega karena pada akhirnya ia bisa mengeluarkan semuanya.
“Ren, makasih banget, tapi lo gak perlu maksain buat bertahan sama gue, karena gue udah jahat banget sama lo,” kata Rian. Rena menggeleng, “Gue udah mutusin untuk bertahan sama lo, jadi gue mohon, jangan bikin keputusan gue ini goyah.”
Malam itu, Rena memutuskan untuk memulai segalanya kembali dari awal.
-o0o-
“Loh, kamu?” Tiba-tiba suara itu terdengar dari arah belakang. Suara yang membuyarkan lamunan Rena (lagi). Ia menoleh, menangkap sosok Ray tengah berdiri dan berlari ke arahnya.
“Ngapain kamu di sini?” tanya Raina. “Oh, saya di rawat di sini,” jawab Ray.
“Sakit ap—”
“Saya punya penyakit autoimun,” Ray langsung menjawab sebelum Rena selesai memberikan pertanyaan. Rena hanya diam, mengangguk kecil.
“Saya tadi lihat kamu ada di kamar rawat inap 1608, siapa dia? Maksud saya, apa dia pacarmu atau keluargamu? Dia kenapa? Oh maaf saya terlalu banyak tanya,” kata Raiden. Rena tersenyum—senyuman pertamanya.
Rena menggeleng, “Dia teman saya, dirawat karena kecelakaan 2 bulan lalu dan baru sadar.” Kini gantian Ray yang mengangguk-angguk. “Kasihan,” jawabnya.
Rena mengangguk, kemudian tanpa ia sadari, ia menceritakan seluruh kisah hidupnya. Mulai dari bagaimana ia dan Rian bersahabat dari kecil, disusul dengan kecelakaan yang mengakibatkan kedua orang tua Rena tewas. Akibatnya, Rena menjadi pribadi yang sulit diatur dan akhirnya ia dikeluarkan dari sekolah. Sampai bagaimana ia kembali bangkit.
“Hebat, terus ada apa dengan teman kecilmu yang dirawat itu?” tanya Ray.
Terdengar helaan napas, “Rian bermain api dengan wanita ‘tidak baik’. Saya sudah berusaha mengingatkan Rian, tapi dia lebih memiih wanita itu, sampai akhirnya saat Rian pergi bersama wanita itu, mobil yang ia tumpangi kecelakaan.”
“Ada rasa sedikit lega tapi juga takut. Lega karena akhirnya Rian dapat karma atas apa yang ia perbuat tapi juga takut, saya takut kalau Rian pergi seperti kedua orang tua saya.”
“Kedengarannya menyedihkan. Tapi kamu harus bersyukur, karena kamu masih bisa menjalani kehidupanmu layaknya manusia kebanyakan. Masih bisa merasakan bagaimana rasanya dicinta dan mencitai, rasanya membenci dan sakit hati. Pasti banyak pelajaran yang bisa kamu ambil dari hidup kamu.” Ray tersenyum.
“Bagaimana denganmu? Sejak kapan kamu mulai dirawat?” tanya Rena.
“Sejak kecil. Hidup saya hanya sekitar rumah sakit, tempat ibadah, dan toko buku. Dokter malah mendiagnosa hidup saya gak akan lama, terlebih beberapa hari lalu, dokter bilang ada sel kanker yang mulai berkembang. Jadi ya, saya gak mau putus harapan, doakan saya, ya.” Ray tersenyum. Rena terdiam.
“Kamu tahu? Kalau kunci dari hidup bahagia adalah saling memaafkan. Saya cuma mau berbagi aja. Saya dilahirkan kemudian dibuang. Orangtua saya tidak sudi membesarkan anak penyakitan seperti saya. Dan inilah saya sekarang, hidup di rumah sakit dengan belas kasihan orang lain. Beruntung ada dokter baik hati yang mau jadi orang tua angkat saya. Saya gak berhak ngeluh, hidup saya jauh lebih baik daripada kebanyakan orang di luar sana.”
“Jadi menurutmu, saya harus apa?” tanya Rena.
“Saya cuma bisa mengarahkan, tapi semuanya kembali lagi ke kamu. Kamu harus maafin dia dan untuk selanjutnya, semuanya terserah kamu. Apa kamu masih mau berjuang atau selesai. Tapi saya mau bilang sau hal, kalau emang kamu hidup yatim piatu tanpa keluarga, maka dia satu-satunya keluarga yang kamu punya,” tutur Ray.
“Terimakasih,” lirih Rena.
“Sama-sama, saya kembali dulu, sudah malam kamu, juga …” Ray menyerengitkan dahi, mengisyaratkan bahwa ia bertanya siapa nama gadis yang dari tadi ia ajak bicara.
“Rena,” jawab Rena.
Ray tersenyum, “Ray. Terimakasih untuk malam ini, Rena. Senang bisa bicara denganmu, selamat tinggal.”