Aku terlalu sulit untuk mencintai,
bukan karena tak ada orang yang pantas ,
melainkan sebab aku yang selalu saja mencari,
hati siapa yang pantas aku singgahi?
Hingga pada jalan setapak yang aku lalui,
kutemui hadirmu yang saat itu tengah menatap langit sepi.
Kupikir, menatapmu dari kejauhan,
akan membuatku tenang menjalani kehidupan.
Mencintaimu dari balik layar—satu-satunya keberanian yang kupunya.
Yang seringkali membuatku menitipkan rindu pada hujan yang berjatuhan.
Aku memberimu ruang tersendiri di sudut hati yang telah hampa,
hingga akhirnya, hari itu tiba.
Kini embun pagi telah mengering.
Pancaran sinar mentari pun telah membuat dedaunan menguning.
Mataku tak lepas menatapi langit.
Menghela napas—saatnya melepas hati yang telah lama terbelit.
Cinta telah menyelimuti cerita kau dan aku,
hingga merajutnya menjadi kata kita.
Tahun pertama setelah kau datang bertamu,
seraya meminta agar kau bisa menetap dalam hatiku—ragaku, dan pikiranku.
Kisah kita kini telah melayang bebas ke atas cakrawala,
tertulis indah pada buku-buku semesta,
seakan romantisme hati yang enggan melepas bulan,
merasuk dalam sukma seraya abadi dan kekal hingga tahun-tahun kesekian.
Tak ada puisi yang dapat menggambarkan bagaimana beruntungnya aku,
bisa mendapatkan imam sepertimu.
Dan tak lagi ada kata yang dapat mengekspresikan,
bagaimana rupa dan posisimu dalam hatiku.
Selamat, untuk kamu yang selalu bisa memenangkan diriku selalu.
Terimakasih telah datang, ketika aku tak lagi mencari, kemana hati ini harus kusinggahi.