Esai – Moderasi Itu Solusi atau Fantasi ?

Moderasi Beragama di Indonesia. Foto : Pinterest

TREAT – Dewasa ini, kita sering kali dibuat resah dengan hadirnya berbagai organisasi masyarakat yang terbilang cukup ekstrem. Beberapa di antara mereka bahkan terkesan intoleran, terlalu kaku, dan gemar memancing kerusuhan serta tidak segan melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Di sisi lain juga terdapat kelompok-kelompok yang menjunjung tinggi kebebasan dan begitu permisif yang terkadang malah terkesan berlebihan dan memicu polemik baru di tengah masyarakat.

Permasalahan tersebut juga telah merambat hingga ke ranah agama. Tak jarang, kita menemukan kelompok-kelompok agamais yang bertentangan dengan wujud ideal dalam implementasi suatu ajaran agama, khususnya di Indonesia. Sebagai contoh, sebagian dari kita tentu masih ingat dengan Kerusuhan Poso yang melibatkan tiga laskar agama yang berbeda. Kerusuhan yang terjadi dalam kurun waktu 1998-2001 tersebut, tidak hanya menyebabkan kerugian secara materi, tetapi juga secara psikis. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya korban jiwa yang diperkirakan mencapai 2000 korban dengan 60 ribu warga lainnya yang terpaksa diungsikan.

Beberapa dari kita juga tentu masih ingat dengan “api dalam sekam” yang sempat memanas pada tahun 2014 di Aceh Singkil atau kasus pembakaran kitab suci yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan kasus rasisme terhadap agama lainnya. Bahkan, sudah terhitung lebih dari 1000 kasus gereja yang sengaja dibakar pasca era reformasi.

Tidak sampai di situ, bagai rantai yang enggan putus, kasus serupa pun bahkan terjadi saat perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-75. Lambang HUT RI ke-75 yang disinyalir oleh beberapa oknum memiliki unsur salib di dalamnya, tentu berpotensi menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat.

Oleh karena itu, permasalahan ini menjadi penting bagi penulis, mengingat Indonesia sebagai negara persatuan yang majemuk telah memberi kebebasan bagi setiap rakyatnya untuk dapat memilih, menganut, dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama mereka masing-masing, sesuai dengan sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini pun menjadi penting untuk dibahas karena tentu kita tidak ingin permasalahan serupa kembali terjadi di Indonesia pada masa kini dan yang akan datang.

Jika hal ini dibiarkan terus menerus, risiko penyebaran konten negatif, seperti hoaks, ujaran kebencian, dan konten radikalisme akan semakin tinggi. Hal ini tentu berpotensi menimbulkan perpecahan dan menganggu persatuan bangsa. Mengingat, isu SARA—khususnya agama—sangat sensitif dan rentan di tengah masyarakat, sehingga konflik agama juga berpotensi menimbulkan ancaman yang serius bagi bangsa Indonesia.

Untuk menghadapi permasalahan yang tidak kunjung selesai itu, moderasi beragama hadir sebagai salah satu solusi. Namun nyatanya, moderasi belum juga bisa menjadi solusi yang efektif. Dalam praktiknya, moderasi beragama yang diterapkan di Indonesia belum bisa beriringan dengan nilai-nilai pancasila sebagai ideologi negara bahkan sejak awal kemerdekaan dan awal pembentukan pancasila itu sendiri.

Jika demikian adanya, sudah sepatutnya kita bermenung sejenak. Sudahkah tepat solusi yang kita pilih? Sudah sejauh apa moderasi yang kita wujudkan jika kita bercermin dari nilai-nilai Pancasila? Apakah sudah dekat dengan tujuan kita, yakni terwujudnya sila pertama Pancasila?

Jika kita mengambil permulaan dengan memaknai kata moderasi, kita perlu sepakati bahwa moderasi merupakan degradasi akan tindak kekerasan yang ada. Maka, penulis mengartikan moderasi beragama di sini sebagai degradasi kekerasan dalam menjalankan praktik suatu agama. Tentu hal ini erat kaitannya dengan apakah suatu praktik tersebut sarat akan kekerasan, baik yang tampak maupun yang tidak tampak (secara struktural maupun kultural). Tentu jika kita meninjau dari perspektif idealisme dengan norma-norma moralis, maka tidak akan ada praktik agama yang sarat akan kekerasan. Namun, lebih dari itu, kita dapat membedahnya dengan melihat perspektif yang lain, misalnya dari perspektif historis.

Kemudian jika output-nya “sudah sejauh apa” maka perlu adanya indikator sebagai pijakan dan tolak ukur penilainnya, yang mana penulis memberikan tolak ukur dari cerminan nilai-nilai Pancasila.

Pertama, jika kita menilik Pancasila secara historis, maka sejak proses permusannya, yang mana Pancasila adalah landasan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara memiliki ikatan dengan semua “yang menjadi Indonesia”. Kita tentu ingat dengan tujuh kata yang dihapus pada sila pertama Pancasila—Ketuhanan dengan Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya—yang memberikan perhatian khusus kepada satu kelompok agama. Jika ideologi Pancasila merupakan representasi kehadiran negara pada setiap landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi rakyatnya, mengapa dibuat begitu spesifik? Hal inilah yang akhirnya justru memberikan pemaknaan adanya kekerasan struktural dalam kehidupan beragama karena adanya perhatian khusus dari negara dalam ideologi Pancasila.

Namun, apakah dengan menjadikan makna sila pertama Pancasila menjadi lebih universal dengan mengubah bunyinya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” berarti bebas dari nilai-nilai kekerasan? Sejak awal Indonesia telah mengambil peran sebagai negara yang sekuler—memberikan disparitas antara urusan agama di dalam urusan bernegara (politik)—maka sila pertama tetap dijadikan bagian utama dari Pancasila. Dengan bermula dari diskursus itu, maka Pancasila dengan adanya sila pertama yang “sudah lebih universal” tetap dapat menghadirkan kekesaran dalam praktik beragama di Indonesia.

Pasalnya, jika kehidupan bernegara dilandasi dengan nilai agama, apakah mungkin agama dibuat universal? Tentu tidak. Nilai agama adalah suatu entitas yang sulit dibagi dan sering dianggap monisme (nilai kebenarannya adalah tunggal). Maka jika ditarik kesimpulan secara garis besar, Indonesia memilih untuk menjadi negara beragama bukan negara agama. Namun, jika kita kembali pada lingkup yang lebih luas, nilai agama mayoritas lagi-lagi tetap menghadirkan struktur mayoritas-minoritas dalam bernegara. Dan dalam lingkup yang lebih sempit, misalnya dalam cara berpakaian, maka kita akan melihat bahwa cara berpakaian tersebut direfleksikan pada basis norma agama tertentu, pengucapan salam, pengaturan jam sekolah, dan sebagainya.

Hingga akhirnya karena struktur masyarakat yang demikian—bahkan akhir-akhir ini—tetap bermunculan sentimen kelompok yang lebih konservatif akan suatu nilai agama yang berinfiltrasi pada banyak bidang, seperti politik, pendidikan, ekonomi, dan budaya.

Kedua, dari sisi idealisme Pancasila. Jika berbicara tentang idealisme Pancasila, maka dapat langsung dibuka dengan pertanyan, apakah hadirnya Pancasila dapat mengakomodasi seluruh keyakinan masyarakat Indonesia di luar enam agama yang diakui? Kembali lagi ini menjadi penting, sebab ini tentang bagaimana kita mendefenisikan “siapa yang merasa dirinya adalah bangsa Indonesia?” karena pada dasarnya, Pancasila yang lahir dari semangat mempersatukan perbedaan yang ada, secara praktisnya tetap memberikan diskriminasi bagi penganut keyakinan di Indonesia.

Pada akhirnya, moderasi beragama di Indonesia masih dipertanyakan implementasinya. Memang tidak mudah jika kita menghadirkan kehidupan beragama yang nihil kekerasan dengan status quo saat ini, kecuali kita bisa mendekonstruksi sumber kekerasan dalam kehidupan beragama kita. Oleh karena itu, kita perlu membuka dan mengevaluasi kembali bagaimana proses dan implementasi dari moderasi beragama di Indonesia itu sendiri.

Sebab, negeri ini sebenarnya sudah memiliki gagasan yang sangat baik, tetapi mungkin penerapannya saja yang belum tepat.

Rekomendasi