
TREAT – Long Distance Relationship, kata yang sangat amat familiar ditelingaku karena aku sendiri yang menjalani sebuah hubungan jarak jauh yang berbeda pulau. Namaku Elsyifa, sekarang menjadi mahasiswi semester 2 disalah satu Universitas di Padang.
Aku baru pindah dari Bogor ke Padang sekitar 6 bulan yang lalu. Bulan-bulan pertama terasa berat sekali, karena juga aku tidak mempunyai teman di Padang karna perkuliahan pun masih daring jadi aku belum bisa beradaptasi dengan orang-orang disekitar ku.
Berawal dari malam Sabtu, 13 Agustus seminggu sebelum kepindahan aku ke Padang, aku diajak main oleh teman-temanku, kami memang sering kumpul, entah itu untuk sekedar ngobrol atau cuma cerita-cerita sambil ngopi saja.
“guys, kayanya gua bakal pindah ke Padang deh” kataku sambil memulai pembicaraan
“loh, kok mendadak banget El?” kata Ninis, salah satu dari 13 teman ku yang paling akrab denganku
“iyaa.. gua ga lulus SBMPTN, jadi mau gamau harus ikut Bunda gua pindah ke Padang” aku sedih
Bagimana tidak, coba saja seandainya aku lolos SBMPTN pasti aku akan tetap dibogor bersama teman-temanku ini, namun takdir berkata lain, aku harus pindah ke Padang. Katika tahu konsekuensinya tidak lulus SBMPTN, aku mengurung diri beberapa hari hingga akhirnya aku di ajak main bersama teman-temanku ini.
“lu yakin el??” ghina memastikan lagi perkataan ku barusan
“iya, mau gamau, jujur gua sedih banget sih tapi mau gimana lagi” ucapku
“Gilang udah tau El?” kata Ninis
“udah Nis..” jawabku
Gilang adalah pacarku, aku dan Gilang sudah berpacaran 1 tahun lebih, dan kami harus terpisah oleh jarak yang tidak semestinya ada, namun ini adalah nyata. Aku nggak pernah menyangka sebelumnya di posisi ini, aku kira ini hanyalah cerita orang-orang saja.
Namun kenyataan mengatakan aku juga salah satu dari orang-orang itu. “Lang, kalo aku nggak di Bogor lagi, gimana?” Tanya ku suatu sore disebuah café sekitaran Bogor. “gapapa El, mau gimana lagi, kita bakal tetap jalanin seperti biasanya kok, tenang aja” jawabnya.
Terdengar menenangkan tapi aku tau pasti dia sedih, dia kecewa tetapi mencoba untuk tidak memperlihatkannya. “janji ya jangan berubah” kataku “iya El, janji” jawab Gilang.
Hari dimana aku harus ke Padang, adalah hari aku harus berpisah dengan teman-teman ku. Hari yang membuatku harus meninggalkan Gilang di Bogor, aku berharap hari ini tidak terjadi. Semua terasa berat sehingga aku hanya bisa menangis di sepanjang perjalanan menuju Padang, bahkan sampai bandara pun aku masih menangis.
Mengingat berapa lama lagi akan balik ke Bogor, disaat pandemi seperti ini, apakah masih bisa aku mengunjungi teman-temanku di Bogor. “bundaa.. apa el masih bisa main ke Bogor lagi suatu saat nanti?” Tanya ku yang masih dibanjiri air mata. Bunda hanya senyum dan mengangguk pelan. Bunda tipikal orang tua yang sangat mengerti dengan anaknya, bahkan saat hendak masuk ke Pesawat pun Bunda sempat meminta maaf kepada Gilang karena harus pindah ke Padang.
Awal-awal di Padang terasa sanggat lama, bahkan rasanya aku ingin sekali waktu cepat berlalu agar bisa ke Bogor lagi. Gilang juga masih tetap Gilang yang sama, masih dengan pehatian yang sama membuat ku sedikit merasa lega karna aku berfikir ini akan baik baik saja. Tapi ternyata aku salah besar.
Yang namanya hubungan pasti juga akan tiba pada titik jenuhnya. Masuk bulan ke 6 aku di Padang, disini juga aku sudah memiliki 2 orang teman yaitu Tasya dan Yura. Mereka teman sekelas dengan di kampusku. Meskipun awalnya aku sempat berpikir tidak akan mendapatkan teman yang sefrekuensi denganku, namun aku salah. Mereka berdua sudah berasa teman lamaku, walau kita baru kenal.
Di bulan ke 6 aku di Padang, aku merasakan perubahan gilang yang tampak jelas dia mulai cuek, bahkan jarang mengubungiku lagi. Diposisi ini aku sangat bingung, apakah harus bertahan atau melanjutkan hal yang dibilang orang sia-sia.
Silfy Dita Yulia